1. Asas Sistem
Asas sistem demokrasi adalah
sekulerisme, bentuk konkretnya merupakan hasil penjelmaan pada abad pencerahan
(renaissance) di Eropa. Sedangkan Islam adalah ajaran yang tidak layak
di sekulerkan. Pemerintahan Islam di bangun diatas landasan aqidah Islam. Tidak
ada pemisahan antara agama dan negara. Negara dalam Islam adalah institusi
politik yang menerapkan persepsi, standar dan qona’ah yang digunakan untuk
melakukan aktivitas ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan rakyat).
Artinya, diatur dengan aturan-aturan Islam. Dari sini saja sudah cukup
untuk mengatakan demokrasi tidak ada landasannya sama sekali dalam Islam,
termasuk juga didalamnya civil society, bahkan keduanya sangat
bertentangan dengan Islam itu sendiri. Bila landasannya saja sudah berbeda
apalagi dalam hal bangunan yang akan di bangun diatasnya.
2. Sumber Kekeuasaan Implikasi dari point 1: Demokrasi
memberikan kedaulatan (sovereignity)
bukan kepada tuhan melainkan diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, dan mempercayakan
kepada rakyat semua perkara dalam
kehidupan. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rakyat adalah sumber
kekuasaan: rakyat adalah sumber kekuasaan perundang-undangan, sumber kekuasaan
hukum, dan sumber kekuasaan pemerintahan. Sedangkan dalam Islam, kedaulatan ada
di tangan syara’, syara’merupakan sumber rujukan utama mengenai segala perkara.
Tidak seorangpun di perkenankan menyusun perudang-undangan meski hanya satu
aturan saja. Dalam Islam rakyat mempunyai wewenang untuk menjalankan kekuasaan.
Rakyatlah yang memilih dan dan mengangkat seseorang untuk memegang kekuasaan
dan menjalankan kekuasaan. jadi, rakyat hanya menjadi sumber kekuasaan
eksekutif semata.
3. Sifat Kepemimpinan
kepemimpinan dalam sistem demokrasi bersifat kolektif dan tidak individual. Kekuasaan juga di pegang secara kolektif, tidak secara individual. Dalam demokrasi (parlementer), kekuasaan di jalankan oleh suatu dewan menteri yang disebut kabinet. Kepala negara –baik presiden maupun raja- merupakan figur yang berkuasa namun tidak berhak memerintah. Sedangkan yang memerintah dan memegang kekuasaan adalah kabinet. Sistem ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam, di mana kepemimpinan adalah milik satu orang, tidak bersifat kolektif. Demikian pula kekuasaan di pegang oleh satu orang dan tidak secara kolektif. Di riwayatkan oleh Abu Said al-Khudri yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda:
kepemimpinan dalam sistem demokrasi bersifat kolektif dan tidak individual. Kekuasaan juga di pegang secara kolektif, tidak secara individual. Dalam demokrasi (parlementer), kekuasaan di jalankan oleh suatu dewan menteri yang disebut kabinet. Kepala negara –baik presiden maupun raja- merupakan figur yang berkuasa namun tidak berhak memerintah. Sedangkan yang memerintah dan memegang kekuasaan adalah kabinet. Sistem ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam, di mana kepemimpinan adalah milik satu orang, tidak bersifat kolektif. Demikian pula kekuasaan di pegang oleh satu orang dan tidak secara kolektif. Di riwayatkan oleh Abu Said al-Khudri yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Äpabila tiga orang melakukan
perjalanan, mereka harus mengangkat satu orang diantara mereka sebagai Amir”.[i]
Abdullah ibn Umar juga meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Tidak di perbolehkan bagi tiga
orang dimanapun berada di muka bumi tanpa mengangkat salah seorang sebagai Amir
diantara mereka”.[ii]
Kata ( ) “seorang diantara mereka” merujuk pada
suatu bilangan yaitu satu, dan tidak lebih. Hal ini disimpulkan dari mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik)
dari kata “seorang diantara mereka”.
Dengan demikian, hadits tersebut bermakna: “Mereka
harus mengangkat seorang Amir, dan tidak boleh lebih” serta “kecuali mengangkat seorang Amir, dan tidak
boleh lebih”. Dengan demikian mafhum
mukhalafah kedua hadits tersebut bermakna bahwa di haramkan menyerahkan Imarah (kepemimpinan) kepada lebih dari
satu orang. Khalifah adalah seorang yang memiliki wewenang penuh atas kekuasaan
dan pemerintahan, dan Islam tidak mengenal adanya power sharing (pembagian kekuasaan) . dengan demikian, kepemimpinan
dan kekuasaan dalam Islam di pegang secara individual.
4. Kelembagaan
Negara
dengan sistem pemerintahan demokrasi terdiri dari sejumlah lembaga bukan satu
lembaga. Pemerintah merupakan satu lembaga yang menjalankan kekuasaan
eksekutif. Sementara lembaga-lembaga yang lain merupakan lembaga independen
yang memiliki kewenangan memerintah dan kekuasaan pada bidangnya sesuai
ketentuan. Hal ini bertentangan dengan Islam, dimana negara dan pemerintah
merupakan lembaga tunggal yang memegang kekuasaan. Kalifah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi memiliki qawwah (otoritas) penuh, sementara orang
lain sama sekali tidak memiliki otoritas tersebut. Rasulullah saw bersabda:
“Imam adalah seorang penggembala,
dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya”.[iii]
Kata ( ) “ïa” dalam tata bahasa Arab berhubungan dengan bentuk terbatas dan
suatu kata ganti terpisah. Jadi kalimat yang berbunyi ( ) “dan
ia bertanggungjawab” menunjukkan pembatasan tanggungjawab itu hanya kepada
Imam (pemimpin). Dengan demikian, tidak ada seorang pun di dalam negara, baik
individu maupun kelompok, yang memiliki kekuasaan dan wewenang selain Khalifah.
5. Sumber Hukum
Dalam sistem demokrasi, meminta pendapat
rakyat mengenai masalah pemerintahan di pandang sebagai suatu kewajiban.
Penguasa harus meminta pendapat rakyat atau lembaga perwakilan rakyat, dan ia
tidak boleh melakukan aktivitas kecuali bila rakyat mendelegasikannya. Demikian
pula ia tidak boleh menentang keinginan dan pendapat rakyat. Jadi meminta
pendapat rakyat merupakan suatu ‘kewajiban’ penguasa di negara demokrasi. Hal
ini bertentangan dengan Islam, karena Islam menganggap upaya meminta pendapat
ummat, atau yang disebut syuro’
(musyawarah) hanya bersifat mandub
(sunnah), bukan wajib. Dengan demikian, khalifah diutamakan meminta pendapat
ummat dan tidak di wajibkan untuk itu. Sebab, sekalipun Allah SWT memuji syuro’, namun Ia hanya membatasinya
hanya pada perkara-perkara mubah. Pembatasan syuro’ pada perkara mubah ini menjadi qorinah (indikasi) bahwa syuro’ hanya merupakan perbuatan yang
mandub, bukan wajib. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa mandub bagi khalifah untuk bermusyawarah
dengan umat, karena Allah swt memuji syuro’
namun membatasinya hanya pada perkara yang mubah.
6. Penetapan Peraturan
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan berdasarkan ‘suara mayoritas’. Anggota-anggota
lembaga legislatif di pilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan
rakyat. Penetapan peraturan dan perundang-undangan serta pemberian mosi percaya
atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan di tetapkan pula
berdasarkan ‘suara mayoritas’. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam
dewan perwakilan, kabinet, serta bahkan dalam seluruh lembaga dan organisasi
lainnya. Pemilihan penguasa oleh rakyat, baik langsung (direct) maupun melalui
para wakilnya (in direct), di tetapkan pula berdasarkan ‘suara mayoritas’
pemilih dari rakyat. Oleh karena itu, ‘suara mayoritas adalah ciri yang
menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas –menurut demokrasi-
merupakan tolak ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang
sebenarnya. Terkadang penetapan suara mayoritas bila melebihi 51% suara dan terkadang penetapannya bila
melebihi 2/3 suara dari wakil rakyat. Sementara dalam Islam, pendapat mayoritas
tidak selalu mengikat, sebab ada perkara-perkara di dalam Islam yang tidak
boleh di kompromikan sekalipun mayoritas berpendapat lain. Bentuk pengambilan
keputusan yang di ambil di dasarkan pada konteks permasalahan masing-masing. Konteks permasalahan tersebut
meliputi:
Ø Dalam permasalahan penetapan hukum (tasyri’) maka di serahkan kepada hukum
syara’ melalui ijtihad para mujtahid dan tidak di serahkan kepada pendapat
mayoritas. Dalil yang menjadi dasar alasan ini adalah bahwa pada perjanjian Hudaibiyah,
Rasulullah saw mengambil wahyu yang di turunkan Allah swt kepadanya dan
mengesampingkan pendapat Abu Bakar dan Umar. Beliau bahkan mengesampingkan
pendapat seluruh kaum muslimin dan menolak pendapat mereka, dan memaksa mereka
untuk patuh pada keputusannya serta mengabaikan kemarahan dan penolakan mereka. Hal ini membuktikan bahwa yang
dominan di mata Rasulullah adalah apa yang telah di tetapkan melalui wahyu,
yaitu dalil-dalil syara’. Bila terdapat sejumlah dalil, maka dalil
terkuatlah yang di ikuti. Namun demikian, yang berhak mewajibkan umat untuk
melegislasi (mengadopsi) salah satu pendapat dan menjadikannya sebagai hukum
positif (possitive law) yang berlau
bagi seluruh kaum muslimin adalah khalifah.[iv] Prinsip
tersebut didasarkan pada adanya ketetapan nash:
“Perintah imam harus di laksanakan
secara lahir dan batin”
“Perintah Imam menghilangkan perbedaan.”
“Sultan mempunyai hak untuk mengambil
keputusan yang sesuai dengan permasalahan baru yang muncul.”
Ø Dalam permasalahan yang memerlukan
keahlian, maka di butuhkan pemahaman dan pengkajian terhadap pokok
permasalahannya. Dengan pemahaman dan pengkajian tersebut maka dapat di
tentukan suatu keputusan untuk melakukan atau meninggalkannya. Khusus untuk
masalah yang membutuhkan pemahaman dan pengkajian, ketepatan dan kelayakan (fit
and proper) tersebut, maka pendapat yang di kemukakan oleh para ahli yang
di jadikan pertimbangan utama. Dalil mengenai masalah ini dapat di fahami dari
aktivitas Rasulullah saw ketika bersama-sama kaum muslimin berkemah di dekat
sumber air Badr. Al-Hubab ibn Mundzir –yang di kenal sebagai ahli peperangan-
tidak setuju dengan tempat itu. Dia bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah
ini tempat yang di tunjukkan Allah swt untuk Engkau duduki, sehingga kita tidak
boleh membantah maupun berpindah dari sini, atau hanya sekedar pendapat dan
taktik peperangan?” Rasulullah menjawab “ini hanya masalah pendapat,
peperangan dan siasat.” Kemudian Hubab berkata, “ini bukan tempat yang
tepat tuntuk berhenti.” Kemudian ia menunjuk tempat lain yang menurut
pendapatnya lebih tepat, dan segera Rasulullah dan kaum muslimin berdiri dan
berpindah ke tempat yang di tunjukkan. Dalam hadits ini Rasulullah mengabaikan
pendapatnya maupun pendapat kaum muslimin. Beliau memilih mengikuti pendapat
yang lebih tepat dan layak, serta merasa puas dengan pendapat satu orang dalam
perkara-perkara yang disebut Rasulullah sebagai masalah “pendapat, perang
dan siasat.”
Ø
Keputusan yang diambil dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan amalan praktis yang tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan mendalam, yang menjadi pertimbangan adalah suara
mayoritas. Suatu hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah menerima
pendapat mayoritas kaum muslimin pada saat perang Uhud untuk keluar dari
Madinah, sekalipun beliau menganggap pendapat ini keliru dan bukan merupakan
pendapat yang terbaik, demikian pula para sahabat senior yang mempunyai
pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas kaum muslimin. Rasulullah dan para
sahabat berpendapat bahwa mereka sebaiknya tetap berada di Madinah. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapat mayoritas dalam perkara ini adalah pendapat yang di
unggulkan dan bersifat mengikat.
7. Kebebasan Dalam Bertindak
Dalam
sistem demokrasi, kebebasan harus di wujudkan bagi setiap individu rakyat.
Dengan itu, mereka dapat melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri,
sekaligus dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para
penguasa dan anggota lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada
tekanan atau paksaan. Ada 4 macam kebebasan yang dianut.
a.
kebebasan
beragama (freedom of religion)
b.
kebebasan
berpendapat (freedom of expreession)
c.
kebebasan
kepemilikan (freedom of ownership)
d.
kebebasan
berperilaku (personal freedom)
lain halnya dengan demokrasi, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Bagi
kaum muslimin, mereka terikat dengan aturan-aturan Islam, baik khalifah maupun
warga negaranya. Mereka tidak boleh mempermainkan ajaran agama dengan cara
berpindah-pindah agama. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia”.[v]
Islam juga
melarang seseorang untuk memiliki sesuatu yang tidak berhak di milikinya. Islam
telah merinci beberapa kepemilikan yang terlarang, misalnya pencurian,
perampasan, suap, korupsi, judi. Sebaliknya, Islam menghalalkan beberapa sebab
kepemilikan, yaitu bekerja, waris, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan
semisal hadiah, hibab, sedekah atau zakat.
Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas,
terutama masalah interaksi pria-wanita. Kapan, dimana, dengan siapa dan dalam
rangka apa keduanya berinteraksi diatur dalam Islam dengan rinci dan detail.
Sementara Barat (Kapitalisme) tidak memiliki aturan yang berkaitan dengan hal
ini (Nidzomul ijtima’I / sistem sosial kemasyarakatan), sehingga
semuanya dibiarkan secara bebas tanpa batas.
Sumber: Seorang Muslim(anonimous)Yang Insya Allah dirahmati dan di berkahi beserta keluarga oleh Allah SWT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar