Pertama, yang merekayasa dan berdiri di belakang ide demokrasi adalah negara-negara Barat. Hal ini merupakan suatu bentuk agresi budaya Barat ke negeri-negeri Islam. Sebagaimana yang dikemukakan Huntington bahwa Penyebaran demokrasi ini merupakan tujuan utama propaganda Barat (dalam hal ini AS). Hal itu diperkuat oleh pernyataan Bush dan Menteri Luar Negeri, James Baker, pada April 1990, bahwa “Demokrasi senantiasa berada di balik setiap kebijakan” dan karenanya, dalam kaitannya dengan situasi pasca perang dingin (cold war), “presiden Bush telah merumuskan misi baru kita untuk melakukan konsolidasi dan mempropagandakan demokrasi.” Dalam kampanyenya tahun 1992, Bill Clinton berulangkali mengatakan bahwa propaganda demokrasi akan menjadi prioritas utama dalam pemerintahannya, dan berkaitan dengan kebijakan asing, demokratisasi menjadi topik sentral dalam setiap kampanyenya. Suatu ketika, semasa pemerintahannya, dia menaikkan dua per tiga anggaran sumbangan Nasional untuk demokrasi dari anggaran semula; pembantunya untuk masalah keamanan nasional menyatakan bahwa tema sentral dari kebijakan luar negeri Clinton adalah “perluasan demokrasi”; dan menteri pertahanannya
menyebut propaganda demokrasinya sebagai salah satu dari empat tujuan pemerintahannya yang berusaha menciptakan sebuah jabatan senior dalam departemennya untuk mempropagandakan tujuan itu.
menyebut propaganda demokrasinya sebagai salah satu dari empat tujuan pemerintahannya yang berusaha menciptakan sebuah jabatan senior dalam departemennya untuk mempropagandakan tujuan itu.
Dalam US Departement of state strategic plan (2000) dinyatakan bahwa demokrasi
dan HAM merupakan komponen pusat dari kebijakan luar negeri AS. Disamping itu, diterapkan dalam rencana strategis tersebut bahwa AS dalam mendorong demokrasi tidak hanya mempromosikan nilai-nilai dasar AS seperti kebebasan beragama dan hak-hak buruh, melainkan juga menciptakan sarana global yang lebih aman, stabil, makmur hingga AS dapat meningkatkan kepentingan-kepentingan nasionalnya.
Kedua, demokrasi adalah idealisme utopia, tidak layak diimplementasikan. ‘mungkin’ hanya Yunani kuno satu-satunya negara yang pernah mewujudkan demokrasi. Manakala suatu negara berupaya menetapkan ide demokrasi, mereka seringkali harus melakukan kebohongan-kebohongan publik. Demokrasi pada kenyataannya tidak pernah merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat. Produk undang-undang yang dihasilkan adalah didasarkan pada kepentingan minoritas di parlemen. Pengkritik Demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto, dan Robert Michels
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam prakteknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas sekelompok besar. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan, ia menyatakan bahwa, demokrasi membawa rakyat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam prakteknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas sekelompok besar. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan, ia menyatakan bahwa, demokrasi membawa rakyat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
Di AS kalangan minoritas itu adalah para kapitalis raksasa,[iii] sedangkan di Inggris, mereka adalah para bangsawan. Padahal, kedua negara ini merupakan negara kapitalis-demokrasi yang ada di barisan terdepan.
Ketiga, sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun oleh manusia untuk manusia. Karena manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, dan sesungguhnya hanya Allah-lah yang terbebas dari kesalahan, maka sistem dari Allah saja yang pantas dianut. kenyataannya, akal manusia sekalipun mampu memberikan penilaian atas berbagai hal yang dipandangnya pantas, kadang benar kadang salah. Penilaian tersebut juga kadang kontradiktif antara satu masa dan masa lainnya, antara satu tempat dan tempat lainnya, antara satu orang dan orang lainnya. Disamping itu, Manusia tidak mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atas berbagai perkara yang tidak dapat ia indera. Dengan demikian, menganut demokrasi dan menolak sistem dari Allah SWT merupakan suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan kehancuran.
Sehingga dari penjabaran diatas, umat Islam tidak di perkenankan menggunakan kata (demokrasi) ini, baik di sebutkan apa adanya atau di pergunakan dengan ajektif Islam, semisal demokrasi Islami atau demokrasi Islam, atau demokrasi dalam Islam. Sebab memberinya ajektif dengan Islam tetap tidak mengeluarkannya dari makna-maknanya yang sudah di kukuhkan oleh hati. Akan tetapi ia hanya mengukuhkan makna-makna yang terdapat di dalamnya, sebaliknya dengan cara itu, ia akan merobek-robek baju syara’. Kenyataan inilah yang tidak akan pernah di terima oleh orang yang meyakini Islam, sebagai aqidah dan sistem.
Menyamakan terminologi-terminologi dan istilah-istilah kafir yang merupakan produk manusia ini sesungguhnya sangat membahayakan Islam, berikut para pemeluknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar